Minggu, 08 November 2015

CONTOH PROPOSAL SKRIPSI PENELITIAN HUKUM NORMATIF



STATUS HAKIM SEBAGAI SPEAKER OF LAW DAN SPEAKER OF JUSTICE
A.      Latar Belakang
Dasar filosofis pandangan hidup bangsa Indonesia dalam berbangsa dan bernegara yaitu Pancasila. Penjabaran nilai-nilai Pancasila di dalam hukum mencerminkan suatu keadilan, ketertiban, dan kesejahteraan yang diinginkan oleh masyarakat Indonesia. Rumusan Pancasila yang terdapat di dalam Pembukaan Undang - Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) terdiri dari empat alinea. Alinea keempat memuat rumusan tujuan negara dan dasar negara. Dasar Negara adalah Pancasila, sedangkan keempat pokok pikiran di dalam Pembukaan UUD 1945 pada dasarnya untuk mewujudkan cita hukum (rechtsides) yang menguasai hukum dasar negara baik yang tertulis maupun tidak tertulis.
Dinamika hukum senantiasa berkembang seiring dengan perkembangan kehidupan masyarakat, sehingga hampir dapat dipastikan, hukum (tertulis) selalu tertinggal dibanding dengan dinamika masyarakat. Berdasarkan kenyataan demikian, maka tidak salah apabila muncul berbagai teori yang menentang aliran positivisme[1].
Positivisme Hukum sebagai sebuah aliran pemikiran filsafat hukum mendasarkan pemikirannya pada pemikiran seorang ahli filsafat Prancis terkemuka yang pertama kali menggunakan istilah Positivisme, yaitu August Comte (1798-1857). Pemikiran Comte merupakan ekspersi suatu periode kultur Eropa yang ditandai dan diwarnai perkembangan pesat ilmu-ilmu eksakta berikut penerapannya. Melalui positivisme, hukum ditinjau dari sudut pandang positivisme yuridis dalam arti yang mutlak. Artinya adalah ilmu pengetahuan hukum adalah undang-undang positif yang diketahui dan disistematikakan dalam bentuk kodifikasi-kodifikasi yang ada. Positivisme hukum juga berpandangan bahwa perlu dipisahkan secara tegas antara hukum dan moral (antara hukum yang berlaku dan hukum yang seharusnya/antara das Sollen dan das Sein). Bahkan bagi sebagian aliran Positivisme Hukum yang disebut juga Legisme, berpendapat bahwa hukum itu identik dengan Undang-Undang[2].
Indonesia sebagai bekas negara jajahan Belanda yang menganut sistem civil law. Oleh sebab itu, sistem hukum di Indonesia sangat dipengaruhi oleh sistem tersebut. Dengan hal ini aliran legisme-positivisme masih tetap eksis dalam praktik meskipun diakui dalam beberapa tahun terakhir ini telah mengalami sedikit pergeseran menuju ke arah sistem common law. Akibat masih kentalnya faham tersebut seringkali dijumpai sikap hakim yang bersikap yuridis-dogmatik dan hanya bertindak sebagai corong undang-undang (Speaker of Law), tanpa mempertimbangkan nilai-nilai yang hidup di masyarakat. Akibatnya, banyak putusan hakim yang mendapat hujatan masyarakat karena tidak dapat memenuhi rasa keadilan masyarakat[3].
Norma atau nilai-nilai yang berlaku di masyarakat merupakan cermin kehendak bersama para anggotanya yang menjadi ukuran baik dan buruk suatu perbuatan hukum serta cermin dari rasa keadilan mereka. Oleh sebab itu setiap hakim yang mengadili perkara senantiasa dituntut untuk menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat[4]. Perintah demikian, juga ditemukan dalam pasal 229 Kompilasi Hukum Islam[5] yang merupakan salah satu acuan hukum bagi kalangan peradilan agama.
Para hakim kita cenderung menggunakan model penafsiran hukum yang monopolistik dimana berpusat pada penguasa termasuk juga hakim begitu menonjol. Penafsiran demikian memang menjamin nilai-nilai kepastian, namun di sisi lain telah menggerogoti nilai-nilai keadilan.
 Selain itu, putusan semakin membuktikan bahwa peradilan hanya dimaknai sebagai prosedur mekanis dan procedural. Persis seperti yang diungkapkan oleh Daniel S. Lev, yang mengatakan bahwa proses hukum Indonesia hanya ditujukan untuk mengejar nilai hukum procedural yaitu dipenuhinya keadilan-keadilan hukum berdasar prosedur-prosedur formal dari aturan yang ada dan bukan untuk mengejar nilai hukum substantif, yaitu yang berkaitan dengan asumsi-asumsi fundamental mengenai distribusi maupun penggunaan sumber-sumber di dalam masyarakat, apa yang dianggap adil dan tidak oleh masyarakat dan sebagainya.
Proses hukum yang prosedural tersebut juga akan melahirkan putusan yang mencerminkan keadilan prosedural semata. Menurut Philip Nonet dan Pilip Selznik bahwa proses hukum dijalankan dengan menganggap hukum hanya sebagai hukum semata yang berupa pasal-pasal kaku dan tidak menyentuh kepentingan masyarakat. Hukum kemudian hanya dilihat sebagai aturan-aturan dan kepantasan prosedural yang akhirnya mendorong suatu konsep yang sempit tentang peranan hukum.
Diakui bahwa menjatuhkan putusan yang dapat memuaskan kedua belah pihak tidak mudah diwujudkan karena masing-masing pihak mempunyai kepentingan yang berbeda, namun yang harus selalu disadari oleh seorang hakim adalah senantiasa berupaya menjatuhkan putusan seadil-adil mungkin berdasarkan rasa keadilan masyarakat. Hakim yang bijaksana adalah hakim yang menunjukkan sikap senantiasa mendengar, melihat, dan berusaha mendatangkan kebajikan, serta mampu melakukan sesuatu yang konkrit dan bermanfaat bagi masyarakat agar putusan yang dijatuhkan dirasakan sebagai “sebuah keadilan yang membawa rahmat”.
Islam menjelaskan bahwa hakim sebagai pelaksana hukum-hukum Allah SWT. mempunyai kedudukan yang sangat penting dan strategis, tetapi juga mempunyai resiko yang berat. Dikatakan penting dan strategis, karena melalui produk hukum yang ditetapkannya diharapkan dapat mencegah segala bentuk kezaliman yang terjadi di tengah masyarakat atau setidaknya dapat meminimalisir, sehingga ketentraman dalam suatu komunitas dapat direalisasikan. Disamping itu, resiko yang dihadapi cukup berat, baik di dunia maupun di akhirat. Di dunia akan berhadapan dengan mereka yang tidak puas dengan keputusannya, sedangkan di akhirat diancam dengan hukuman sebagai ahli neraka jika tidak menetapkan keputusan sesuai dengan yang seharusnya. 
Sahabat Buraidah berkata, bahwa Rasulullah SAW. telah bersabda,”Hakim ada tiga macam. Dua masuk neraka dan yang satu masuk surga. Hakim yang masuk surga adalah hakim yang mengetahui hukum (peraturan) yang haq (benar) kemudian memberi keputusan dengan hukum tersebut. Sedangkan hakim yang masuk neraka adalah: Pertama, Hakim yang mengetahui hukum yang benar tetapi curang dalam membuat keputusan. Kedua, Hakim yang tidak mengetahui hukum yang benar, kemudian membuat keputusandengan kebodohannya.” ( Hadis Riwayat Abu Dawud dan Tirmidzi)
Ibn Taymiyah, menyebutkan bahwa seorang hakim haruslah dipenuhi empat hal, yaitu : al-qowiyu fil’ilmi (memiliki wawasan keilmuan dan intelektual yang memadai), al-qowiyu fil’amali (memiliki kesalehan sosial), al-qowiyu fil irodah (memiliki motivasi dan semangat yang tinggi), dan al-qowiyu fil jasadi (memliki fisik yang prima)[6].
Seringkali diungkapkan oleh banyak akademisi hukum,“ Hukum adalah sebuah pernyataan yang benar dan mendasar dari seorang hakim yang mengerti substansi, seorang hakim yang tidak sekadar sebagai corong undang-undang tetapi Speaker of Justice (corong keadilan).
B.       Rumusan Masalah
1.      Bagaimana fungsi hakim perspektif hukum positif dan hukum Islam?
2.      Bagaimana sikap hakim ketika terjadi perbedaan antara norma hukum dan nilai keadilan?

C.       Batasan Masalah
Berdasarkan rumusan masalah di atas, peneliti menyusun batasan masalah sebagai berikut :
1.      Dalam penelitian ini kami membatasi ruang lingkup hukum positif dan hukum Islam dalam pembahasan fungsi hakim di Indonesia.
2.      Ruang lingkup penelitian ini akan membahas sikap seorang hakim ketika ada pertentangan (antinomi) antara norma hukum dan nilai keadilan. Dalam hal mana yang harus didahulukan hakim, apakah norma hukum atau nilai keadilan.
D.      Tujuan Penelitian
Dari penelitian ini agar kita mengetahui secara kongkrit fungsi hakim di Indonesia perspektif hukum positif dan hukum Islam. Selain itu penelitian ini akan memberikan pemahaman dan solusi bagi kalangan akademisi tentang dilema hal mana yang harus didahulukan antara norma hukum dan nilai keadilan.
E.       Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih pemikiran bagi disiplin keilmuan secara umum dan sekurang-kurangnya bermanfaat dalam dua aspek, yaitu aspek teoritis dan praktis. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan mampu menambah khazanah keilmuan dalam bidang hukum, khususnya dalam kejelasan status hakim, serta penelitian ini diharapkan menjadi referensi awal munculnya penelitian yang melahirkan teori-teori status hakim. Secara praktis, penelitian ini diharapkan mampu memberikan pemahaman kepada para akademsi hukum dan khususnya masyarakat agar mengetahui status hakim di dalam pengadilan. Agar tidak adanya kesalah pahaman dalam menafsiri putusan hakim.
F.     Tinjauan Pustaka
1.      Peneltian Terdahulu
Sebagai upaya merekontruksi dan mengetahui orisinalitas penelitian, di bawah ini peneliti sajikan sejumlah penelitian terdahulu yang memiliki kemiripan tema, yaitu:
Mochamad Soef, 2010, Hakim hanya sebagai Speaker of Law bukan Speaker Of Justice. Hasil dari penelitian ini menunjukkan ketidak percayaan masyarakat, khususnya pencari keadilan kepada pengadilan sudah sangat tinggi. Karena itu, berakhirnya Orde Baru pada Mei 1998, atau 9 tahun otoritarian yang berkuasa 32 tahun, tetapi juga awal dari terbitnya harapan akan masa depan tegaknya nilai-nilai dan prinsip-prinsip negara hukum sehingga terdapat kepastian dan keadilan hukum bagi semua (justice for all), sebagaimana termaktub dalam UUD 1945 Pasal 1 ayat (3) Bab I adanya kesamaan di hadapan hukum dan tidak melihat status sosial. Tetapi setelah hampir sepuluh tahun Orde Baru berakhir, harapan pada pengadilan, khususnya pada integritas moral dan intlektual hakim yang tangguh dan bermutu masih jauh. Isu mafia peradilan, khususnya perilaku buruk hakim masih terjadi. Kepercayaan publik kepada hakim tidak membaik sama sekali. Bahkan ada kesan bahwa kebebasan dan kemerdekaan hakim yang diberikan UU di era pemerintahan pasca Orde Baru, apalagi setelah kewenangan KY dipersempit oleh Mahkamah Konstitusi (MK) telah membuat hakim merdeka kembali dan bertindak tidak terkontrol.
Perbedaan penelitian M. Soef dengan karya ilmiah yang akan saya teliti ini mempunyai perbedaan yang sangat yaitu tentang fungsi hakim dilihat dari kacamata hukum positif dan hukum Islam. Selain itu kami akan membahas dan bagaimana memberi solusi tentang antinomi antara norma hukum dan nilai keadilan secara implisit.
2.      Kerangka Teori
a.       Hakim
1)      Pengertian Hakim
Hakim berasal dari kata   حكم – يحكم – حاكم  : sama artinya dengan qodhi yang berasal dari kata  قضى – يقضى – قاض artinya memutus. Sedangkan menurut bahasa adalah orang yang bijaksana atau orang yang memutuskan perkara dan menetapkannya.  Adapun pengertian menurut syar'a yaitu orang yang diangkat oleh kepala negara untuk menjadi hakim dalam menyelesaikan gugatan, perselisihan-perselisihan dalam bidang hukum perdata oleh karena penguasa sendiri tidak dapat menyelesaikan tugas peradilan,  sebagaimana Nabi Muhammad SAW. telah mengangkat qodhi untuk bertugas menyelesaikan sengketa di antara manusia di tempat-tempat yang jauh, sebagaimana ia telah melimpahkan wewenang ini pada sahabatnya.  Hal ini terjadi pada sahabat dan terus berlanjut pada Bani Umayah dan Bani Abbasiah, diakibatkan dari semakin luasnya wilayah Islam dan kompleknya masalah yang terjadi pada masyarakat, sehingga diperlukan hakim – hakim untuk menyelesaikan perkara yang terjadi.
Hakim merupakan salah satu pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili.  Sedangkan dalam Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman adalah penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup di masyarakat.  Dengan demikian hakim adalah sebagai pejabat Negara yang diangkat oleh kepala Negara sebagai penegak hukum dan keadilan yang diharapkan dapat menyelesaikan permasalahan yang telah diembannya menurut Undang-Undang yang berlaku.
2)      Dasar Dan Syarat Pengangkatan Hakim
Lembaga peradilan  sebagai lembaga Negara yang ditugasi menerapkan hukum (Izhar al-Hukm) terhadap perkara-perkara yang berkaitan dengan hukum dan adanya hakim sebagai pelaksana dari UU Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman, ketetapan Majelis Permusyawarakatan Indonesia Nomor X/MPR/1998 yang menyatakan perlunya reformasi di bidang hukum untuk penanggulangan dibidang hukum dan ketetapan Majlis Permusyawatan Rakyat Nomor III/MPR/1978 Tentang Hubungan Tata Kerja Lembaga Tinggi Negara.
3)      Syarat  menjadi hakim secara umum adalah :
a)      Warga Negara Indonesia
b)      Bertaqwa Kepada Tuhan Yang Maha Esa
c)      Setia Pada Pancasila dan Undang-Undang
d)     Bukan anggota organisasi terlarang
e)      Pegawai Negeri
f)       Sarjana Hukum
g)      Berumur serendah-rendahnya 25 tahun
h)      Berwibawa, jujur, adil dan berkelakuan baik.
4)      Sumpah dan Janji Hakim
Sumpah
" Demi Allah saya bersumpah bahwa saya akan memenuhi kewajiban hakim dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan menjalankan segala peraturan perundang-undangan dengan selurus-lurusnya menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, serta berbakti kepada nusa dan bangsa."  
Janji :
" Saya berjanji bahwa saya dengan sungguh-sungguh akan memenuhi kewajiban hakim dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan menjalankan segala peraturan perundang-undangan dengan selurus-lurusnya menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta berbakti kepada nusa dan bangsa."[7]    
Jika seorang hakim melanggar maka dapat diberhentikan secara tidak hormat oleh Presiden dengan terlebih dahulu diberi kesempatan untuk membela diri.
Menurut Pasal 20 AB “Hakim harus mengadili berdasarkan Undang-Undang”, Pasal 22 AB dan Pasal 14 Undang-Undang No. 14 tahun 1970 mewajibkan “Hakim untuk tidak menolak mengadili perkara yang diajukan kepadanya dengan alasan tidak lengkap atau tidak jelas Undang-undang yang mengaturnya melainkan wajib mengadilinya”. Untuk mengatasinya dalam pasal 27 UU No. 14 Tahun 1970 menyebutkan : “Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup didalam masyarakat”
b.      Hukum
Banyak sekali para ahli hukum yang mendefinisikan hukum, antara lain adalah :
1)      Plato, dilukiskan dalam bukunya Republik. Hukum adalah sistem peraturan-peraturan yang teratur dan tersusun baik yang mengikat masyarakat.
2)      Aristoteles, hukum hanya sebagai kumpulan peraturan yang tidak hanya mengikat masyarakat tetapi juga hakim. Undang-undang adalah sesuatu yang berbeda dari bentuk dan isi konstitusi; karena kedudukan itulah undang-undang mengawasi hakim dalam melaksanakan jabatannya dalam menghukum orang-orang yang bersalah
3)      Austin, hukum adalah sebagai peraturan yang diadakan untuk memberi bimbingan kepada makhluk yang berakal oleh makhluk yang berakal yang berkuasa atasnya (Friedmann, 1993: 149).
4)      E. Utrecht, menyebutkan: hukum adalah himpunan petunjuk hidup –perintah dan larangan– yang mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat, dan seharusnya ditaati oleh seluruh anggota masyarakat yang bersangkutan, oleh karena itu pelanggaran petunjuk hidup tersebut dapat menimbulkan tindakan oleh pemerintah atau penguasa itu.
5)      M.H. Tirtaamidjata, S.H., bahwa hukum adalah semua aturan (norma) yang harus dituruti dalam tingkah laku tindakan-tindakan dalam pergaulan hidup dengan ancaman mesti mengganti kerugian jika melanggar aturan-aturan itu akan membahayakan diri sendiri atau harta, umpamanya orang akan kehilangan kemerdekaannya, didenda dan sebagainya.
6)      Dr. Soejono Dirdjosisworo, S.H. menyebutkan aneka arti hukum yang meliputi: (1) hukum dalam arti ketentuan penguasa (undang-udang, keputusan hakim dan sebagainya), (2) hukum dalam arti petugas-petugas-nya (penegak hukum), (3) hukum dalam arti sikap tindak, (4) hukum dalam arti sistem kaidah, (5) hukum dalam arti jalinan nilai (tujuan hukum), (6) hukum dalam arti tata hukum, (7) hukum dalam arti ilmu hukum, (8) hukum dalam arti disiplin hukum.[8]
Dari paparan di atas, kami bisa memyimpulkan bahwa hukum merupakan sebuah regulasi yang teratur dan terstruktur yang mempunyai tujuan untuk mengatur masyarakat agar terwujud keamanan, kestabilitasan, dan kenyamanan dalam hidup bermasyarakat. Dimana hukum bersifat memaksa bagi seseorang berisikan suatu perintah larangan atau izin untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu.
c.       Keadilan
Keadilan merupakan suatu hal yang abstrak, mewujudkan hal tersebut ita harus mengetahui terlebih dahulu  apa arti keadilan. Untuk itu perlu dirumuskan definisi yang paling tidak mendekati dan dapat memberi gambaran apa arti keadilan. Definisi mengenai keadilan sangat beragam, dapat ditunjukkan dari berbagai pendapat yang dikemukakan oleh para pakar di bidang hukum yang memberikan definisi berbeda-beda mengenai keadilan.[9]
Pada pokoknya pandangan keadilan ini sebagai suatu pemberian hak persamaan tapi bukan persamarataan. Aristoteles membedakan hak persamaannya sesuai dengan hak proposional. Kesamaan hak dipandangan manusia sebagai suatu unit atau wadah yang sama. Kesamaan proposional memberi tiap orang apa yang menjadi haknya sesuai dengan kemampuan dan prestasi yang telah dilakukannya.
Lebih lanjut, keadilan menurut pandangan Aristoteles dibagi kedalam dua macam keadilan, keadian “Distributief” dan keadilan “Commutatief”. Keadilan distributief ialah keadilan yang memberikan kepada tiap orang porsi menurut prestasinya. Keadilan commutatief memberikan sama banyaknya kepada setiap orang tanpa membeda-bedakan prestasinya dalam hal ini berkaitan dengan peranan tukar-menukar barang dan jasa.[10]
Sedangkan Jhon Rawls memberikan sumbangsih pemikirannya mengenai keadilan yang memiliki inti sari sebagai berikut :
1)      Memaksimalkan kemerdekaan. Pembatasan terhadap kemerdekaan ini hanya untuk kepentingan kemerdekaan itu sendiri
2)      Kesetaraan bagi semua orag, baik kesetaraan dalam kehidupan social maupun kesetaraan dalam bentuk pemanfaatan kekayaan alam (social goods). Pembatasan dalam hal ini hanya dapat diizinkan bila ada kemungkinan keuntungan yang llebih besar.
3)      Kesetaraan kesempatan untuk kejujuran, dan penghapusan terhadap ketidaksetaraan berdasarkan dan kekayaan.
Untuk memberikan jawaban atas hal tersebut, Rawls melahirkan 3 (tiga) prinsip keadilan, yang sering dijadikan rujukan oleh beberapa ahli yakni:
1)      Prinsip kebebasan yang sama (equal liberty of principle)
2)      Prinsip perbedaan (differences principle)
3)      Prinsip persamaan kesempatan (equal opportunity principle)
Rawls berpendapat jika terjadi benturan (Konflik), maka Equal Liberty of Principle harus diprioritaskan dari pada prinsp-prinsip yang lainnya. Dan Equal Opportunity Principle harus diprioritaskan dari pada Differences Principle.
Keadilan menurut  Ibnu Taymiyyah (661-728 H) adalah memberikan sesuatu kepada setiap anggota masyarakat sesuai dengan haknya yang harus diperolehnya tanpa diminta; tidak berat sebelah atau tidak memihak kepada salah satu pihak; mengetahui hak dan kewajiban, mengerti mana yang benar dan mana yang salah, bertindak jujur dan tetap menurut peraturan yang telah ditetapkan. Keadilan merupakan nilai-nilai kemanusiaan yang asasi dan menjadi pilar bagi berbagai aspek kehidupan, baik individual, keluarga, dan masyarakat. Keadilan tidak hanya menjadi idaman setiap insan bahkan kitab suci umat Islam menjadikan keadilan sebagai tujuan risalah samawi.
G.      Metode Penelitian
Metode penelitian merupakan sebuah entitas yang tak terpisahkan dalam sebuah penelitian. Sebab, metode penelitian merupakan sebuah sistem kerja yang digunakan untuk mencapai tujuan dalam penelitian. Berkaitan dengan hal ini, Dr. Saifullah, S.H., M.Hum. menyatakan bahwa metodologi penelitian merupakan dasar bagi proses penemuan sesuai dengan disiplin ilmu yang dibangun oleh peneliti. Sebagai jembatan yang menguhubungkan antara dunia ontologi dengan aksiologi, juga antara dunia das sollen dan das sein sehingga  kesenjangan yang terjadi di lapangan atau yang berkecamuk dalam dunia pemikiran dapat terumuskan jawabannya.
Penggunaan metode penelitian dalam pra, proses maupun hasil penelitian merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Hal ini sangat menentukan kualitas hasil penelitian.[11] Berdasarkan hal ini, seorang peneliti harus menentukan dan memilih metode yang tepat agar tujuan penelitian tercapai secara maksimal.  Metode penelitian ini terdiri dari :
1.    Jenis Penelitian
Merujuk pada latar belakang dan rumusan masalah yang diambil, maka penelitian ini dikategorikan sebagai penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum kepustakaan. Penelitian yang akan dibahas ini dapat dimasukkan ke dalam kategori penelitian hukum normatif, karena penelitian ini membahas fungsi hakim di Indonesia beserta mengupas antinomi antara norma hukum dan nilai keadilan.
2.    Pendekatan Penelitian
Adapun jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif, yaitu jenis peneltian yang menghasilkan penemuan-penemuan yang tidak dapat diperoleh dengan menggunakan prosedur-prosedur statistik atau dengan cara-cara lain dari pengukuran. Penelitian kualitatif ini dapat menunjukkan pada penelitian tentang kehidupan masyarakat, sejarah, tigkah laku, juga tentang fungsionalisasi, organisasi, pergerakan-pergerakan sosial, atau hubungan kekerabatan.[12]
3.   Sumber Data
Yang dimaksud dengan sumber data dalam penelitian ini adalah subjek dari mana data dapat diperoleh.[13] Penelitian hukum ini dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka, sehingga penelitian ini dinamakan dengan penelitian hukum normatif. Pada penelitian hukum normatif, bahan pustaka merupakan data dasar yang dalam ilmu penelitian digolongkan sebagai jenis data sekunder.[14] Selain itu pada penelitian hukum normatif ini, tidak diperlukan penyusunan atau perumusan hipotesa. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan jenis sumber data sekunder. Kemudian  sumber data sekunder ini dibagi oleh peneliti menjadi:[15]
a.       Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat. Dalam hal ini meliputi al Quran. Hadits sebagai mashadir hukum dalam ajaran Islam, dan sumber hukum positif yaitu UUD 1945.
b.      Bahan Hukum Sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti:
1)    Firdaus Muhammad Arwan, Hakim dan Keadilan Masyarakat, 2009
2)      Undang Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
3)      L.J Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, (Cet.XXVI, Jakarta: Pradnya Paramita, 1996.
4)      Yesaya Sandang, “Positivisme Hukum dan Sociological Jurisprudence”,http://solitudesolitaire.wordpress.com/2009/08/24/positivisme-hukum-dan-sociological-jurisprudence/,diakses taggal 12 November 2012.
c.       Bahan Hukum Tersier, yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti Ensiklopedia maupun kamus.
4.   Metode Pengumpulan Data
Merupakan persoalan metodologis yang berkaitan dengan teknik-teknik pengumpulan data.[16] Keputusan alat pengumpul data mana yang akan dipergunakan tergantung pada permasalahan yang akan diamati. Karena jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif maka peneliti memilih untuk menggunakan studi dokumen atau dokumentasi untuk alat pengumpul datanya. Studi dokumen merupakan langkah awal dari setiap penelitian hukum. Studi dokumen bagi penelitian hukum meliputi studi bahan-bahan hukum yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.[17] Metode dokumentasi adalah mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, dan sebagainya.[18]
5.    Pengolahan dan Analisa Bahan Hukum
Pengolahan dan analisis data pada dasarnya tergantung pada jenis datanya, bagi penelitian hukum normatif yang hanya mengenal data sekunder saja, yang terdiri dari bahan: bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier, maka dalam mengolah dan menganalisis bahan hukum tersebut tidak bisa melepaskan diri dari berbagai penafsiran yang dikenal dalam ilmu hukum.
Data-data yang diperoleh selama penelitian rencananya akan diolah dengan tahap-tahap sebagai berikut:
a.    Editing
Cara ini harus pertama kali dilakukan dengan meneliti kembali catatan atau informasi yang diperoleh dari data-data pustaka untuk mengetahui apakah catatan atau informasi yang tersebut sudah cukup baik atau belum dan dapat segera dipersiapkan untuk keperluan proses berikutnya
b.      Classifiying
Seluruh data baik yang berasal dari informan, komentar peneliti sendiri, dan dokumen yang berkaitan hendaknya dibaca dan ditelaah (diklasifikasikan) secara mendalam.

c.       Verifying
Langkah dan kegiatan yang dilakukan pada penelitian ini untuk memperoleh data dan informasi dari data-data pustaka harus di Cross-check kembali agar validitasnya dapat diakui oleh pembaca.
Dari berbagai data yang diperoleh dari penelitian ini, maka tahap berikutnya adalah analisis data untuk memperoleh kesimpulan akhir hasil penelitian ini. Analisis data adalah proses penyusunan data agar data tersebut dapat ditafsirkan. Analisis data merupakan rangkaian kegiatan penelaahan, pengelompokan, sistematisasi, penafsiran dan verifikasi data agar sebuah fenomena memiliki nilai sosial, akademis dan ilmiah.
Menurut Lexy J. Maleong terdapat beberapa cara untuk menguji keabsahan data. salah satunya adalah metode Triangulasi, yaitu teknik pengecekan atau pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain. Atau dengan kata lain teknik ini membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan  isi suatu dokumen yang berkaitan seperti buku dan literatur lainnya.
Tahap berikutnya adalah tahapan concluding. Hal ini merupakan pengambilan kesimpulan dari suatu proses penulisan yang menghasilkan suatu jawaban atas semua pertanyaan yang menjadi generalisasi yang telah dipaparkan dibagian latar belakang.
H.       Sistematika Penulisan
Secara keseluruhan pembahasan dalam penelitian ini dibagi menjadi 5 bab, yang rinciannya adalah sebagai berikut:
BAB I       : PENDAHULUAN, yaitu gambaran umum tentang kegelisahan akademik penulis yang dituangkan dalam latar belakang masalah. Berdasarkan latar belakang tersebut kemudian dirumuskan menjadi beberapa pertanyaan sebagai rumusan masalah. Jawaban dari perntayaan-pertanyaan tersebut digunakan untuk mencapai tujuan penelitian. Temuan dalam penelitian diharapkan memberikan manfaat positif dalam ranah teoritik maupun praktik. Selanjutnya penulis menentukan metode penelitian sebagai media pemecahan masalah yang telah dirumuskan pada rumusan masalah. Untuk menguji orisinalitas penelitian, pada bagian ini juga dicantumkan penelitian terdahulu. Kemudian diakhiri dengan sistematika pembahasan sebagai peta bahasan penelitian.
BAB II      :  TEORI DAN KONSEP YANG DIKAJI, meliputi pandangan Undang-Undang, serta teori-teori Status Hakim di Indonesia, dan buku-buku para akademisi hukum, sebagai pendekatan keilmuan yang dijadikan alat untuk pemecahan masalah
BAB III    :  METODE PENELITIAN, yang akan mengulas metode yang digunakan oleh peneliti dalam penelitian ini. Metode tersebut meliputi pendekatan dan jenis penelitian, sumber data, metode pengumpulan data, metode pengolahan dan analisis data. Sehingga dengan pembahasan tersebut dapat mengungkap sejumlah cara yang diatur secara sistematis, logis, rasional dan terarah tentang bagaimana pekerjaan sebelum, ketika dan sesudah mengumpulkan data sehingga diharapkan mampu menjawab secara ilmiah perumusan masalah yang telah ditetapkan.
BAB IV    :  PROBLEMATIKA FUNGSI HAKIM DAN SOLUSI ANTINOMI NORMA HUKUM DENGAN NILAI KEADILAN, Bab ini merupakan inti dari penelitian karena pada bab ini akan menganalisis data-data yang telah dikemukakan pada bab sebelumnya menggunakan teori-teori yang dikemukakan dalam kajian pustaka dan dilengkapi dengan pendangan peneliti terhadap temuan tersebut.
BAB V      : SIMPULAN DAN SARAN meliputi jawaban singkat atas rumusan masalah yang telah ditetapkan. Sedangkan saran adalah usulan atau anjuran kepada pihak-pihak terkait atau memiliki kewenangan lebih terhadap tema yang diteliti demi kebaikan masyarakat atau penelitian di masa-masa mendatang.



I.         DAFTAR PUSTAKA
1.      Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
2.      Kompilasi Hukum Islam nomor 1 tahun 1991
3.      Maleong, Lexy J, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung:PT.Rosda Karya, 2005
4.        Firdaus Muhammad Arwan, Hakim dan Keadilan Masyarakat, (Maret, 2009),
5.      Ibn Taymiyah, al-Amr bi al-Maruf wa an-Nahy an al-M unkar, (Beirut: Dar al-Kitab al-Jadid, 1976.
6.      L.J Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Pradnya Paramita, 1996.
7.      Suharismi Arikunto,  Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta:PT. Rineka Cipta, 2002.
8.      Soekanto, Soerjono, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan  Singkat, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004.
9.      Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 1986.
10.  Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004.
11.  Saifullah, “Refleksi  Penelitian : Suatu Kontemplasi Atas Pekerjaan Penelitian”,http://www.uinmalang.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=1678:refleksi-penelitian&catid=36:kolom-pr2s, diakases tanggal 13 mei 2010)
12.      Yesaya Sandang, “Positivisme Hukum dan Sociological Jurisprudence”, http://solitudesolitaire.wordpress.com/2009/08/24/positivisme-hukum-dan-sociological-jurisprudence/,di akses taggal 12 November 2012.



J.      OUTLINE
BAB I    :  Pendahuluan
A.    Latar Belakang Masalah
B.     Rumusan Masalah
C.     Tujuan Penelitian
D.    Manfaat Penelitian
E.     Sistematika Pembahasan
BAB II : Tinjauan Pustaka
A.    Penelitian Terdahulu
B.     Kajian Teori
BAB III : Metodologi Penelitian
A.    Jenis Penelitian
B.     Pendekatan Penelitian
C.     Sumber Data
D.    Metode Pengumpulan Data
E.     Metode Pengolahan Data
BAB IV: Problematika Fungsi Hakim dan Solusi Antinomi Norma Hukum dengan Nilai Keadilan
BAB V   : Kesimpulan dan Saran
Daftar Pustaka
Lampiran - Lampiran


[1] Firdaus Muhammad Arwan, Hakim dan Keadilan Masyarakat, (Maret, 2009), 1
[2] Yesaya Sandang, “Positivisme Hukum dan Sociological Jurisprudence”, http://solitudesolitaire.wordpress.com/2009/08/24/positivisme-hukum-dan-sociological-jurisprudence/,di akses taggal 12 November 2012.
[3] Firdaus Muhammad Arwan, ….. ,1
[4]  Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
[5]  Hakim dalam menyelesaikan perkara-perkara yang diajukan kepadanya, wajib memperhatikan dengan sungguh-sungguh nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, sehingga putusannya sesuai dengan rasa keadilan.
[6]  Ibn Taymiyah, al-Amr bi al-Maruf wa an-Nahy an al-Munkar, (Beirut: Dar al-Kitab al-Jadid, 1976), 39 
[7] Pasal 30 Ayat (2) Undang Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
[10] L.J Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, (Cet.XXVI, Jakarta: Pradnya Paramita, 1996), 11-12

[11] Saifullah, Refleksi  Penelitian : Suatu Kontemplasi Atas Pekerjaan Penelitian, http://www.uinmalang.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=1678:refleksi-penelitian&catid=36:kolom-pr2s/, diakases tanggal 13 November 2012
[12] Lexy J. Meleong, Metedologi Penelitian Kualitatif  (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2006),6.
[13] Suharismi Arikunto,  Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek (Jakarta:PT. Rineka Cipta, 2002), 107.
[14] Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan  Singkat (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), 23-24
[15] Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: UI Press, 1986), 52.
[16] Sutrisno Hadi, Metodologi Research Jilid I (Yogyakarta : Andi offset,1993),  83

[17] Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), 68.
[18] Suharsimi Arikunto, ….. , 206.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar