STATUS HAKIM SEBAGAI
SPEAKER OF LAW DAN SPEAKER OF JUSTICE
A. Latar Belakang
Dasar filosofis pandangan hidup bangsa
Indonesia dalam berbangsa dan bernegara yaitu Pancasila. Penjabaran nilai-nilai
Pancasila di dalam hukum mencerminkan suatu keadilan, ketertiban, dan
kesejahteraan yang diinginkan oleh masyarakat Indonesia. Rumusan Pancasila yang
terdapat di dalam Pembukaan Undang - Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 (UUD 1945) terdiri dari empat alinea. Alinea keempat memuat rumusan
tujuan negara dan dasar negara. Dasar Negara adalah Pancasila, sedangkan
keempat pokok pikiran di dalam Pembukaan UUD 1945 pada dasarnya untuk
mewujudkan cita hukum (rechtsides) yang menguasai hukum dasar negara baik yang
tertulis maupun tidak tertulis.
Dinamika
hukum senantiasa berkembang seiring dengan perkembangan kehidupan masyarakat,
sehingga hampir dapat dipastikan, hukum (tertulis) selalu tertinggal dibanding
dengan dinamika masyarakat. Berdasarkan kenyataan demikian, maka tidak salah
apabila muncul berbagai teori yang menentang aliran positivisme.
Positivisme
Hukum sebagai sebuah aliran pemikiran filsafat hukum mendasarkan pemikirannya
pada pemikiran seorang ahli filsafat Prancis terkemuka yang pertama kali
menggunakan istilah Positivisme, yaitu August Comte (1798-1857). Pemikiran
Comte merupakan ekspersi suatu periode kultur Eropa yang ditandai dan diwarnai
perkembangan pesat ilmu-ilmu eksakta berikut penerapannya. Melalui
positivisme, hukum ditinjau dari sudut pandang positivisme yuridis dalam arti
yang mutlak. Artinya adalah ilmu pengetahuan hukum adalah undang-undang positif
yang diketahui dan disistematikakan dalam bentuk kodifikasi-kodifikasi yang
ada. Positivisme hukum juga berpandangan bahwa perlu dipisahkan secara tegas
antara hukum dan moral (antara hukum yang berlaku dan hukum yang seharusnya/antara das
Sollen dan das Sein). Bahkan bagi sebagian aliran
Positivisme Hukum yang disebut juga Legisme, berpendapat bahwa hukum itu
identik dengan Undang-Undang.
Indonesia
sebagai bekas negara jajahan Belanda yang menganut sistem civil law. Oleh
sebab itu, sistem hukum di Indonesia sangat dipengaruhi oleh sistem tersebut.
Dengan hal ini aliran legisme-positivisme masih tetap eksis dalam
praktik meskipun diakui dalam beberapa tahun terakhir ini telah mengalami
sedikit pergeseran menuju ke arah sistem common law. Akibat masih
kentalnya faham tersebut seringkali dijumpai sikap hakim yang bersikap yuridis-dogmatik
dan hanya bertindak sebagai corong undang-undang (Speaker of Law), tanpa
mempertimbangkan nilai-nilai yang hidup di masyarakat. Akibatnya, banyak
putusan hakim yang mendapat hujatan masyarakat karena tidak dapat memenuhi rasa
keadilan masyarakat.
Norma
atau nilai-nilai yang berlaku di masyarakat merupakan cermin kehendak bersama
para anggotanya yang menjadi ukuran baik dan buruk suatu perbuatan hukum serta
cermin dari rasa keadilan mereka. Oleh sebab itu setiap hakim yang mengadili
perkara senantiasa dituntut untuk menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai
hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Perintah demikian, juga ditemukan dalam pasal 229 Kompilasi Hukum Islam
yang merupakan salah satu acuan hukum bagi kalangan peradilan agama.
Para
hakim kita cenderung menggunakan model penafsiran hukum yang monopolistik
dimana berpusat pada penguasa termasuk juga hakim begitu menonjol. Penafsiran
demikian memang menjamin nilai-nilai kepastian, namun di sisi lain telah
menggerogoti nilai-nilai keadilan.
Selain itu, putusan semakin membuktikan bahwa
peradilan hanya dimaknai sebagai prosedur mekanis dan procedural. Persis
seperti yang diungkapkan oleh Daniel S. Lev, yang mengatakan bahwa proses hukum
Indonesia hanya ditujukan untuk mengejar nilai hukum procedural yaitu
dipenuhinya keadilan-keadilan hukum berdasar prosedur-prosedur formal dari
aturan yang ada dan bukan untuk mengejar nilai hukum substantif, yaitu yang
berkaitan dengan asumsi-asumsi fundamental mengenai distribusi maupun
penggunaan sumber-sumber di dalam masyarakat, apa yang dianggap adil dan tidak
oleh masyarakat dan sebagainya.
Proses
hukum yang prosedural tersebut juga akan melahirkan putusan yang mencerminkan
keadilan prosedural semata. Menurut Philip Nonet dan Pilip Selznik bahwa proses
hukum dijalankan dengan menganggap hukum hanya sebagai hukum semata yang berupa
pasal-pasal kaku dan tidak menyentuh kepentingan masyarakat. Hukum kemudian
hanya dilihat sebagai aturan-aturan dan kepantasan prosedural yang akhirnya
mendorong suatu konsep yang sempit tentang peranan hukum.
Diakui
bahwa menjatuhkan putusan yang dapat memuaskan kedua belah pihak tidak mudah
diwujudkan karena masing-masing pihak mempunyai kepentingan yang berbeda, namun
yang harus selalu disadari oleh seorang hakim adalah senantiasa berupaya
menjatuhkan putusan seadil-adil mungkin berdasarkan rasa keadilan masyarakat.
Hakim yang bijaksana adalah hakim yang menunjukkan sikap senantiasa mendengar,
melihat, dan berusaha mendatangkan kebajikan, serta mampu melakukan sesuatu
yang konkrit dan bermanfaat bagi masyarakat agar putusan yang dijatuhkan
dirasakan sebagai “sebuah keadilan yang membawa rahmat”.
Islam
menjelaskan bahwa hakim sebagai pelaksana hukum-hukum Allah SWT. mempunyai
kedudukan yang sangat penting dan strategis, tetapi juga mempunyai resiko yang
berat. Dikatakan penting dan strategis, karena melalui produk hukum yang
ditetapkannya diharapkan dapat mencegah segala bentuk kezaliman yang terjadi di
tengah masyarakat atau setidaknya dapat meminimalisir, sehingga ketentraman
dalam suatu komunitas dapat direalisasikan. Disamping itu, resiko yang dihadapi
cukup berat, baik di dunia maupun di akhirat. Di dunia akan berhadapan dengan
mereka yang tidak puas dengan keputusannya, sedangkan di akhirat diancam dengan
hukuman sebagai ahli neraka jika tidak menetapkan keputusan sesuai dengan yang
seharusnya.
Sahabat
Buraidah berkata, bahwa Rasulullah SAW. telah bersabda,”Hakim ada tiga macam.
Dua masuk neraka dan yang satu masuk surga. Hakim yang masuk
surga adalah hakim yang mengetahui hukum (peraturan) yang haq (benar) kemudian memberi keputusan
dengan hukum tersebut. Sedangkan hakim yang masuk neraka adalah: Pertama, Hakim
yang mengetahui
hukum yang benar tetapi curang dalam membuat keputusan. Kedua, Hakim yang tidak mengetahui hukum yang benar, kemudian membuat
keputusandengan kebodohannya.” ( Hadis Riwayat Abu Dawud dan Tirmidzi)
Ibn
Taymiyah, menyebutkan bahwa seorang hakim haruslah dipenuhi empat hal, yaitu : al-qowiyu
fil’ilmi (memiliki wawasan keilmuan dan intelektual yang memadai), al-qowiyu
fil’amali (memiliki kesalehan sosial), al-qowiyu fil irodah (memiliki
motivasi dan semangat yang tinggi), dan al-qowiyu fil jasadi (memliki
fisik yang prima).
Seringkali
diungkapkan oleh banyak akademisi hukum,“ Hukum adalah sebuah pernyataan yang
benar dan mendasar dari seorang hakim yang mengerti substansi, seorang hakim yang
tidak sekadar sebagai corong undang-undang tetapi Speaker of Justice (corong
keadilan).
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana
fungsi hakim perspektif hukum positif dan hukum Islam?
2. Bagaimana
sikap hakim ketika terjadi perbedaan antara norma hukum dan nilai keadilan?
C. Batasan Masalah
Berdasarkan rumusan masalah di atas, peneliti menyusun batasan masalah sebagai
berikut :
1.
Dalam penelitian ini kami
membatasi ruang lingkup hukum positif dan hukum Islam dalam pembahasan fungsi
hakim di Indonesia.
2. Ruang
lingkup penelitian ini akan membahas sikap seorang hakim ketika ada
pertentangan (antinomi) antara norma hukum dan nilai keadilan. Dalam hal mana
yang harus didahulukan hakim, apakah norma hukum atau nilai keadilan.
D. Tujuan Penelitian
Dari penelitian ini
agar kita mengetahui secara kongkrit fungsi hakim di Indonesia perspektif hukum
positif dan hukum Islam. Selain itu penelitian ini akan memberikan pemahaman
dan solusi bagi kalangan akademisi tentang dilema hal mana yang harus didahulukan
antara norma hukum dan nilai keadilan.
E. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat
memberikan sumbangsih pemikiran bagi disiplin keilmuan secara umum dan
sekurang-kurangnya bermanfaat dalam dua aspek, yaitu aspek teoritis dan
praktis. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan mampu menambah
khazanah keilmuan dalam bidang hukum, khususnya dalam kejelasan status hakim,
serta penelitian ini diharapkan menjadi referensi awal munculnya penelitian
yang melahirkan teori-teori status hakim. Secara praktis, penelitian ini
diharapkan mampu memberikan pemahaman kepada para akademsi hukum dan khususnya
masyarakat agar mengetahui status hakim di dalam pengadilan. Agar tidak adanya
kesalah pahaman dalam menafsiri putusan hakim.
F. Tinjauan Pustaka
1.
Peneltian Terdahulu
Sebagai upaya merekontruksi dan mengetahui orisinalitas penelitian, di
bawah ini peneliti sajikan sejumlah penelitian terdahulu yang memiliki
kemiripan tema, yaitu:
Mochamad Soef, 2010, Hakim hanya sebagai Speaker of Law bukan Speaker Of Justice.
Hasil dari penelitian
ini menunjukkan ketidak percayaan masyarakat, khususnya pencari keadilan kepada
pengadilan sudah sangat tinggi. Karena itu, berakhirnya Orde Baru pada Mei
1998, atau 9 tahun otoritarian yang berkuasa 32 tahun, tetapi juga awal dari
terbitnya harapan akan masa depan tegaknya nilai-nilai dan prinsip-prinsip
negara hukum sehingga terdapat kepastian dan keadilan hukum bagi semua (justice
for all), sebagaimana termaktub dalam UUD 1945 Pasal 1 ayat (3) Bab I
adanya kesamaan di hadapan hukum dan tidak melihat status sosial. Tetapi
setelah hampir sepuluh tahun Orde Baru berakhir, harapan pada pengadilan,
khususnya pada integritas moral dan intlektual hakim yang tangguh dan bermutu
masih jauh. Isu mafia peradilan, khususnya perilaku buruk hakim masih terjadi.
Kepercayaan publik kepada hakim tidak membaik sama sekali. Bahkan ada kesan
bahwa kebebasan dan kemerdekaan hakim yang diberikan UU di era pemerintahan
pasca Orde Baru, apalagi setelah kewenangan KY dipersempit oleh Mahkamah Konstitusi
(MK) telah membuat hakim merdeka kembali dan bertindak tidak terkontrol.
Perbedaan penelitian M.
Soef dengan karya ilmiah yang akan saya teliti ini mempunyai perbedaan yang
sangat yaitu tentang fungsi hakim dilihat dari kacamata hukum positif dan hukum
Islam. Selain itu kami akan membahas dan bagaimana memberi solusi tentang
antinomi antara norma hukum dan nilai keadilan secara implisit.
2.
Kerangka Teori
a. Hakim
1) Pengertian Hakim
Hakim
berasal dari kata Øكم – ÙŠØكم – Øاكم : sama artinya dengan qodhi yang
berasal dari kata قضى – يقضى – قاض artinya memutus. Sedangkan menurut bahasa
adalah orang yang bijaksana atau orang yang memutuskan perkara dan
menetapkannya. Adapun pengertian menurut syar'a yaitu orang yang diangkat
oleh kepala negara untuk menjadi hakim dalam menyelesaikan gugatan,
perselisihan-perselisihan dalam bidang hukum perdata oleh karena penguasa
sendiri tidak dapat menyelesaikan tugas peradilan, sebagaimana Nabi Muhammad
SAW. telah mengangkat qodhi untuk bertugas menyelesaikan sengketa di antara
manusia di tempat-tempat yang jauh, sebagaimana ia telah melimpahkan wewenang
ini pada sahabatnya. Hal ini terjadi pada sahabat dan terus berlanjut
pada Bani Umayah dan Bani Abbasiah, diakibatkan dari semakin luasnya wilayah
Islam dan kompleknya masalah yang terjadi pada masyarakat, sehingga diperlukan
hakim – hakim untuk menyelesaikan perkara yang terjadi.
Hakim
merupakan salah satu pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh
undang-undang untuk mengadili. Sedangkan dalam Undang-Undang Kekuasaan
Kehakiman adalah penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan
memahami nilai-nilai hukum yang hidup di masyarakat. Dengan demikian
hakim adalah sebagai pejabat Negara yang diangkat oleh kepala Negara sebagai
penegak hukum dan keadilan yang diharapkan dapat menyelesaikan permasalahan
yang telah diembannya menurut Undang-Undang yang berlaku.
2) Dasar Dan Syarat Pengangkatan Hakim
Lembaga
peradilan sebagai lembaga Negara yang ditugasi menerapkan hukum (Izhar al-Hukm) terhadap perkara-perkara
yang berkaitan dengan hukum dan adanya hakim sebagai pelaksana dari UU Nomor 4
Tahun 2004 Tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman, ketetapan Majelis
Permusyawarakatan Indonesia Nomor X/MPR/1998 yang menyatakan perlunya reformasi
di bidang hukum untuk penanggulangan dibidang hukum dan ketetapan Majlis
Permusyawatan Rakyat Nomor III/MPR/1978 Tentang Hubungan Tata Kerja Lembaga
Tinggi Negara.
3) Syarat menjadi hakim secara umum adalah :
a) Warga Negara Indonesia
b) Bertaqwa Kepada Tuhan Yang Maha Esa
c) Setia Pada Pancasila dan Undang-Undang
d) Bukan anggota organisasi terlarang
e) Pegawai Negeri
f) Sarjana Hukum
g) Berumur serendah-rendahnya 25 tahun
h) Berwibawa, jujur, adil dan berkelakuan baik.
4) Sumpah dan Janji Hakim
Sumpah
"
Demi Allah saya bersumpah bahwa saya akan memenuhi kewajiban hakim dengan
sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, dan menjalankan segala peraturan
perundang-undangan dengan selurus-lurusnya menurut Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia tahun 1945, serta berbakti kepada nusa dan bangsa."
Janji
:
"
Saya berjanji bahwa saya dengan sungguh-sungguh akan memenuhi kewajiban hakim
dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan menjalankan segala peraturan
perundang-undangan dengan selurus-lurusnya menurut Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, serta berbakti kepada nusa dan bangsa."
Jika
seorang hakim melanggar maka dapat diberhentikan secara tidak hormat oleh
Presiden dengan terlebih dahulu diberi kesempatan untuk membela diri.
Menurut
Pasal 20 AB “Hakim harus mengadili berdasarkan Undang-Undang”, Pasal 22 AB dan
Pasal 14 Undang-Undang No. 14 tahun 1970 mewajibkan “Hakim untuk tidak menolak
mengadili perkara yang diajukan kepadanya dengan alasan tidak lengkap atau
tidak jelas Undang-undang yang mengaturnya melainkan wajib mengadilinya”. Untuk
mengatasinya dalam pasal 27 UU No. 14 Tahun 1970 menyebutkan : “Hakim sebagai
penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai
hukum yang hidup didalam masyarakat”
b. Hukum
Banyak sekali para ahli hukum
yang mendefinisikan hukum, antara lain adalah :
1) Plato,
dilukiskan dalam bukunya Republik. Hukum adalah sistem peraturan-peraturan yang
teratur dan tersusun baik yang mengikat masyarakat.
2) Aristoteles,
hukum hanya sebagai kumpulan peraturan yang tidak hanya mengikat masyarakat
tetapi juga hakim. Undang-undang adalah sesuatu yang berbeda dari bentuk dan
isi konstitusi; karena kedudukan itulah undang-undang mengawasi hakim dalam
melaksanakan jabatannya dalam menghukum orang-orang yang bersalah
3) Austin,
hukum adalah sebagai peraturan yang diadakan untuk memberi bimbingan kepada
makhluk yang berakal oleh makhluk yang berakal yang berkuasa atasnya
(Friedmann, 1993: 149).
4) E. Utrecht,
menyebutkan: hukum adalah himpunan petunjuk hidup –perintah dan larangan– yang
mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat, dan seharusnya ditaati oleh
seluruh anggota masyarakat yang bersangkutan, oleh karena itu pelanggaran
petunjuk hidup tersebut dapat menimbulkan tindakan oleh pemerintah atau
penguasa itu.
5) M.H.
Tirtaamidjata, S.H., bahwa hukum adalah semua aturan (norma) yang harus
dituruti dalam tingkah laku tindakan-tindakan dalam pergaulan hidup dengan
ancaman mesti mengganti kerugian jika melanggar aturan-aturan itu akan
membahayakan diri sendiri atau harta, umpamanya orang akan kehilangan
kemerdekaannya, didenda dan sebagainya.
6) Dr.
Soejono Dirdjosisworo, S.H. menyebutkan aneka arti hukum yang meliputi: (1) hukum
dalam arti ketentuan penguasa (undang-udang, keputusan hakim dan sebagainya),
(2) hukum dalam arti petugas-petugas-nya (penegak hukum), (3) hukum dalam arti
sikap tindak, (4) hukum dalam arti sistem kaidah, (5) hukum dalam arti jalinan
nilai (tujuan hukum), (6) hukum dalam arti tata hukum, (7) hukum dalam arti
ilmu hukum, (8) hukum dalam arti disiplin hukum.
Dari
paparan di atas, kami bisa memyimpulkan bahwa hukum merupakan sebuah regulasi
yang teratur dan terstruktur yang mempunyai tujuan untuk mengatur masyarakat
agar terwujud keamanan, kestabilitasan, dan kenyamanan dalam hidup
bermasyarakat. Dimana hukum bersifat memaksa bagi seseorang
berisikan suatu perintah larangan atau izin untuk berbuat atau tidak berbuat
sesuatu.
c. Keadilan
Keadilan merupakan suatu hal yang
abstrak, mewujudkan hal tersebut ita harus mengetahui terlebih dahulu apa arti keadilan. Untuk itu perlu dirumuskan
definisi yang paling tidak mendekati dan dapat memberi gambaran apa arti
keadilan. Definisi mengenai keadilan sangat beragam, dapat ditunjukkan dari
berbagai pendapat yang dikemukakan oleh para pakar di bidang hukum yang
memberikan definisi berbeda-beda mengenai keadilan.
Pada pokoknya pandangan keadilan ini
sebagai suatu pemberian hak persamaan tapi bukan persamarataan. Aristoteles
membedakan hak persamaannya sesuai dengan hak proposional. Kesamaan hak
dipandangan manusia sebagai suatu unit atau wadah yang sama. Kesamaan
proposional memberi tiap orang apa yang menjadi haknya sesuai dengan kemampuan
dan prestasi yang telah dilakukannya.
Lebih lanjut, keadilan menurut
pandangan Aristoteles dibagi kedalam dua macam keadilan, keadian “Distributief” dan keadilan “Commutatief”. Keadilan distributief
ialah keadilan yang memberikan kepada tiap orang porsi menurut prestasinya.
Keadilan commutatief memberikan sama banyaknya kepada setiap orang tanpa
membeda-bedakan prestasinya dalam hal ini berkaitan dengan peranan
tukar-menukar barang dan jasa.
Sedangkan Jhon Rawls memberikan
sumbangsih pemikirannya mengenai keadilan yang memiliki inti sari sebagai
berikut :
1) Memaksimalkan kemerdekaan.
Pembatasan terhadap kemerdekaan ini hanya untuk kepentingan kemerdekaan itu
sendiri
2) Kesetaraan bagi semua orag, baik
kesetaraan dalam kehidupan social maupun kesetaraan dalam bentuk pemanfaatan
kekayaan alam (social goods).
Pembatasan dalam hal ini hanya dapat diizinkan bila ada kemungkinan keuntungan
yang llebih besar.
3) Kesetaraan kesempatan untuk
kejujuran, dan penghapusan terhadap ketidaksetaraan berdasarkan dan kekayaan.
Untuk memberikan jawaban atas hal
tersebut, Rawls melahirkan 3 (tiga) prinsip keadilan, yang sering dijadikan
rujukan oleh beberapa ahli yakni:
1) Prinsip kebebasan yang sama (equal liberty of principle)
2) Prinsip perbedaan (differences principle)
3) Prinsip persamaan kesempatan (equal opportunity principle)
Rawls berpendapat jika terjadi
benturan (Konflik), maka Equal Liberty of
Principle harus diprioritaskan dari pada prinsp-prinsip yang lainnya. Dan Equal Opportunity Principle harus
diprioritaskan dari pada Differences
Principle.
Keadilan menurut Ibnu
Taymiyyah (661-728 H) adalah memberikan sesuatu kepada setiap anggota
masyarakat sesuai dengan haknya yang harus diperolehnya tanpa diminta; tidak
berat sebelah atau tidak memihak kepada salah satu pihak; mengetahui hak dan
kewajiban, mengerti mana yang benar dan mana yang salah, bertindak jujur dan
tetap menurut peraturan yang telah ditetapkan. Keadilan merupakan nilai-nilai
kemanusiaan yang asasi dan menjadi pilar bagi berbagai aspek kehidupan, baik
individual, keluarga, dan masyarakat. Keadilan tidak hanya menjadi idaman
setiap insan bahkan kitab suci umat Islam menjadikan keadilan sebagai tujuan
risalah samawi.
G. Metode Penelitian
Metode penelitian merupakan
sebuah entitas yang tak terpisahkan dalam sebuah penelitian. Sebab, metode penelitian merupakan
sebuah sistem kerja yang digunakan untuk mencapai tujuan dalam penelitian.
Berkaitan dengan hal ini, Dr. Saifullah, S.H., M.Hum. menyatakan bahwa
metodologi penelitian merupakan dasar bagi proses penemuan sesuai dengan
disiplin ilmu yang dibangun oleh peneliti. Sebagai jembatan yang menguhubungkan
antara dunia ontologi dengan aksiologi, juga antara dunia das sollen dan
das sein sehingga kesenjangan yang terjadi di lapangan atau yang
berkecamuk dalam dunia pemikiran dapat terumuskan jawabannya.
Penggunaan
metode penelitian dalam pra, proses maupun hasil penelitian merupakan satu
kesatuan yang tidak terpisahkan. Hal ini sangat menentukan kualitas hasil
penelitian.
Berdasarkan hal ini, seorang peneliti harus menentukan dan memilih metode yang
tepat agar tujuan penelitian tercapai secara maksimal. Metode penelitian ini terdiri dari :
1.
Jenis Penelitian
Merujuk pada latar belakang dan rumusan
masalah yang diambil, maka penelitian ini dikategorikan sebagai penelitian
hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum kepustakaan.
Penelitian yang akan dibahas ini dapat dimasukkan ke dalam kategori penelitian
hukum normatif, karena penelitian ini membahas fungsi hakim di Indonesia beserta
mengupas antinomi antara norma hukum dan nilai keadilan.
2.
Pendekatan Penelitian
Adapun
jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
kualitatif, yaitu jenis peneltian yang menghasilkan penemuan-penemuan yang
tidak dapat diperoleh dengan menggunakan prosedur-prosedur statistik atau
dengan cara-cara lain dari pengukuran. Penelitian kualitatif ini dapat
menunjukkan pada penelitian tentang kehidupan masyarakat, sejarah, tigkah laku,
juga tentang fungsionalisasi, organisasi, pergerakan-pergerakan sosial, atau
hubungan kekerabatan.
3.
Sumber Data
Yang
dimaksud dengan sumber data dalam penelitian ini adalah subjek dari mana data
dapat diperoleh.
Penelitian hukum ini dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka, sehingga
penelitian ini dinamakan dengan penelitian hukum normatif. Pada penelitian
hukum normatif, bahan pustaka merupakan data dasar yang dalam ilmu penelitian
digolongkan sebagai jenis data sekunder. Selain itu pada penelitian
hukum normatif ini, tidak diperlukan penyusunan atau
perumusan hipotesa. Dalam penelitian ini, peneliti
menggunakan jenis sumber data sekunder. Kemudian sumber data sekunder ini dibagi oleh
peneliti menjadi:
a.
Bahan Hukum
Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat. Dalam hal ini meliputi al Quran. Hadits sebagai mashadir hukum dalam ajaran Islam, dan sumber
hukum positif yaitu UUD 1945.
b.
Bahan Hukum
Sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti:
1)
Firdaus Muhammad Arwan, Hakim dan Keadilan Masyarakat, 2009
2) Undang Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
3) L.J Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, (Cet.XXVI,
Jakarta: Pradnya Paramita, 1996.
c. Bahan Hukum
Tersier, yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan
hukum primer dan sekunder, seperti Ensiklopedia maupun kamus.
4.
Metode Pengumpulan Data
Merupakan persoalan metodologis yang
berkaitan dengan teknik-teknik pengumpulan data. Keputusan
alat pengumpul data mana yang akan dipergunakan tergantung pada permasalahan
yang akan diamati. Karena jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif
maka peneliti memilih untuk menggunakan studi dokumen atau dokumentasi untuk alat pengumpul datanya. Studi dokumen merupakan langkah awal dari
setiap penelitian hukum. Studi dokumen bagi penelitian hukum meliputi studi
bahan-bahan hukum yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder,
dan bahan hukum tersier. Metode dokumentasi adalah mencari data mengenai hal-hal
atau variabel yang berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, dan
sebagainya.
5.
Pengolahan dan Analisa Bahan Hukum
Pengolahan dan analisis data
pada dasarnya tergantung pada jenis datanya, bagi penelitian hukum normatif
yang hanya mengenal data sekunder saja, yang terdiri dari bahan: bahan hukum
primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier, maka dalam mengolah dan
menganalisis bahan hukum tersebut tidak bisa melepaskan diri dari berbagai
penafsiran yang dikenal dalam ilmu hukum.
Data-data yang diperoleh
selama penelitian rencananya akan diolah dengan tahap-tahap sebagai berikut:
a.
Editing
Cara
ini harus pertama kali dilakukan dengan meneliti kembali catatan atau informasi
yang diperoleh dari data-data pustaka untuk mengetahui apakah catatan atau
informasi yang tersebut sudah cukup baik atau belum dan dapat segera
dipersiapkan untuk keperluan proses berikutnya
b.
Classifiying
Seluruh
data baik yang berasal dari informan, komentar peneliti sendiri, dan dokumen
yang berkaitan hendaknya dibaca dan ditelaah (diklasifikasikan) secara
mendalam.
c.
Verifying
Langkah
dan kegiatan yang dilakukan pada penelitian ini untuk memperoleh data dan
informasi dari data-data pustaka harus di Cross-check
kembali agar validitasnya dapat diakui oleh pembaca.
Dari
berbagai data yang diperoleh dari penelitian ini, maka tahap berikutnya adalah
analisis data untuk memperoleh kesimpulan akhir hasil penelitian ini. Analisis
data adalah proses penyusunan data agar data tersebut dapat ditafsirkan.
Analisis data merupakan rangkaian kegiatan penelaahan, pengelompokan,
sistematisasi, penafsiran dan verifikasi data agar sebuah fenomena memiliki
nilai sosial, akademis dan ilmiah.
Menurut
Lexy J. Maleong terdapat beberapa cara untuk menguji keabsahan data. salah
satunya adalah metode Triangulasi, yaitu teknik pengecekan atau pemeriksaan
keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain. Atau dengan kata lain
teknik ini membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan isi suatu dokumen yang berkaitan seperti buku
dan literatur lainnya.
Tahap berikutnya adalah tahapan concluding.
Hal ini merupakan pengambilan kesimpulan dari suatu
proses penulisan yang menghasilkan suatu jawaban atas semua pertanyaan yang
menjadi generalisasi yang telah dipaparkan dibagian latar belakang.
H. Sistematika
Penulisan
Secara
keseluruhan pembahasan dalam penelitian ini dibagi menjadi 5 bab, yang
rinciannya adalah sebagai berikut:
BAB I : PENDAHULUAN,
yaitu gambaran umum tentang kegelisahan akademik penulis yang dituangkan dalam
latar belakang masalah. Berdasarkan latar belakang tersebut kemudian dirumuskan
menjadi beberapa pertanyaan sebagai rumusan masalah. Jawaban dari
perntayaan-pertanyaan tersebut digunakan untuk mencapai tujuan penelitian.
Temuan dalam penelitian diharapkan memberikan manfaat positif dalam ranah
teoritik maupun praktik. Selanjutnya penulis menentukan metode penelitian
sebagai media pemecahan masalah yang telah dirumuskan pada rumusan masalah.
Untuk menguji orisinalitas penelitian, pada bagian ini juga dicantumkan
penelitian terdahulu. Kemudian diakhiri dengan sistematika pembahasan sebagai
peta bahasan penelitian.
BAB II : TEORI
DAN KONSEP YANG DIKAJI, meliputi pandangan Undang-Undang, serta teori-teori
Status Hakim di Indonesia, dan buku-buku para akademisi hukum, sebagai
pendekatan keilmuan yang dijadikan alat untuk pemecahan masalah
BAB III : METODE
PENELITIAN,
yang akan mengulas metode yang digunakan oleh peneliti dalam penelitian ini.
Metode tersebut meliputi pendekatan dan jenis penelitian, sumber data, metode
pengumpulan data, metode pengolahan dan analisis data. Sehingga dengan
pembahasan tersebut dapat mengungkap sejumlah cara yang diatur secara
sistematis, logis, rasional dan terarah tentang bagaimana pekerjaan sebelum,
ketika dan sesudah mengumpulkan data sehingga diharapkan mampu menjawab secara
ilmiah perumusan masalah yang telah ditetapkan.
BAB IV : PROBLEMATIKA FUNGSI HAKIM DAN SOLUSI ANTINOMI NORMA HUKUM
DENGAN NILAI KEADILAN, Bab ini merupakan inti dari penelitian
karena pada bab ini akan menganalisis data-data yang telah dikemukakan pada bab
sebelumnya menggunakan teori-teori yang dikemukakan dalam kajian pustaka dan
dilengkapi dengan pendangan peneliti terhadap temuan tersebut.
BAB
V : SIMPULAN DAN
SARAN meliputi jawaban singkat atas rumusan masalah yang telah ditetapkan.
Sedangkan saran adalah usulan atau anjuran kepada pihak-pihak terkait atau
memiliki kewenangan lebih terhadap tema yang diteliti demi kebaikan masyarakat
atau penelitian di masa-masa mendatang.
I.
DAFTAR PUSTAKA
1. Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009
2. Kompilasi
Hukum Islam nomor 1 tahun 1991
3. Maleong, Lexy J, Metodologi
Penelitian Kualitatif, Bandung:PT.Rosda Karya, 2005
Firdaus
Muhammad Arwan, Hakim dan Keadilan Masyarakat, (Maret, 2009),
6. L.J Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Pradnya
Paramita, 1996.
9.
Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 1986.
10. Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar
Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004.
J. OUTLINE
BAB I : Pendahuluan
A.
Latar Belakang Masalah
B.
Rumusan Masalah
C.
Tujuan Penelitian
D.
Manfaat Penelitian
E.
Sistematika Pembahasan
BAB II : Tinjauan Pustaka
A.
Penelitian Terdahulu
B.
Kajian Teori
BAB III :
Metodologi Penelitian
A. Jenis
Penelitian
B. Pendekatan
Penelitian
C. Sumber
Data
D. Metode
Pengumpulan Data
E. Metode
Pengolahan Data
BAB
IV: Problematika Fungsi Hakim dan Solusi Antinomi Norma Hukum dengan Nilai
Keadilan
BAB V : Kesimpulan
dan Saran
Daftar Pustaka
Lampiran - Lampiran
Firdaus
Muhammad Arwan, Hakim dan Keadilan Masyarakat, (Maret, 2009), 1
Firdaus Muhammad Arwan, ….. ,1
Hakim dalam
menyelesaikan perkara-perkara yang diajukan kepadanya, wajib memperhatikan
dengan sungguh-sungguh nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, sehingga
putusannya sesuai dengan rasa keadilan.
L.J Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, (Cet.XXVI,
Jakarta: Pradnya Paramita, 1996), 11-12
Suharsimi Arikunto, ….. , 206.